Pada zaman dahulu di kampung Kartasura, Jawa Tengah hiduplah sepasang suami istri yang sudah tua. Mereka mempunyai beberapa anak tetapi hanya seorang saja yang hidup. Ia bernama Raden Kartadria. Walaupun keturunan bangsawan, mereka hidup dalam kesederhanaan.
Mereka hidup dari sebidang kebun yang tidak luas. Kebun itu mereka tanami buah-buahan. Buah-buahan tersebut mereka jual ke pasar untuk membeli keperluan hidup sehari-hari, seperti beras, garam, dan lauk.
Meskipun masih kecil, raden kartadria sudah pandai dan rajin membantu orang tuanya. Pekerjaan yang ia lakukan adalah membersihkan kebun, memetik buah-buahan, dan menjualnya ke pasar.
Raden Kartadria tidak hanya pandai dan rajin membantu orang tuanya, tetapi ia juga rajin dan pandai mengaji. Ia belajar membaca Al-qur’an dan ilmu agama islam kepada seorang kiai di kampungnya. Raden Kartadria adalah seorang murid yang rajin. Tidak heran jika ia sangat di sayangi oleh guru dan teman-temannya.
Raden Kartadria juga belajar ilmu bela diri, yaitu silat. Semua ilmu ia pelajari dengan tekun dan sungguh-sungguh sehingga ketika menjelang dewasa, ilmu-ilmu yang dipelajarinya dapat dikuasai dengan baik. Meskipun sudah memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak sombong. Bahkan, ia menjadi seorang pemuda yang sopan, lembut dalam bertutur bahasa, serta baik budi pekertinya.
Suatu hari Raden Kartadria pulang dari kebunnya. Ketika itu hari sudah sore dan cuaca mendung, suatu tanda akan turun hujan. Angin pun bertiup kencang sehingga daun-daun beterbangan. Tidak lama kemudian, hujan pun turun dengan lebatnya. Raden Kartadria berteduh di bawah pohon rindang. Raden Kartadria terkejut karena di bawah pohon itu sudah lebih dahulu berteduh seorang nenek dengan menggendong barang bawaan yang cukup berat. Tubuh nenek itu tampak menggigil kedingan. Raden Kartadria pun basah kuyup kehujanan. Dengan sopan Raden Kartadria menegurnya.
“Nenek, dari mana sampai kehujanan di sini?”
“Aku akan ke ladang di pinggir hutan itu. Gubukku berada di sana. Tadi aku mampir ke rumah cucuku dan dibekali oleh-oleh ini. Cucuku sedang sakit, maka ia tidak dapat mengantarkan. Terpaksa aku pulang sendiri, “jawab nenek.
Mendengar cerita nenek itu, Raden Kartadria merasa kasihan terhadap nasibnya. Sementara itu, hujan belum reda, tetap hari makin gelap karena sebentar lagi malam tiba. Tubuh nenek itu makin menggigil kedinginan. Rasa iba Raden Kartadria makin menjadi. Lalu berkata kepada nenek itu.
“Nenek, tampaknya hujan belum juga reda, hari makin gelap, sebentar lagi malam tiba. Bagaimana kalau aku antar nenek ke gubuk itu ?”
Nenek menganggukan kepalanya tanda setuju, tetapi ia tidak mampu membawa barang-barangnya sehingga Raden Kartadria yang membawakan barang itu sampai ke gubuknya. Dengan tertatih-tatih dan di bawah siraman hujan yang lebat, akhirnya sampailah kedua orang itu di sebuah gubuk di tepi hutan. Nenek segera berganti pakaian dan berselimut, untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. Setelah agak hilang rasa dinginnya, nenek itu berkata kepada Raden Kartadria.
“Hai, cucuku! Aku sangat berterima kasih karena engkau telah menolongku. Aku bangga kepadamu karena ternyata engkau seorang pemuda yang baik.”
Sambil memandangi Raden Kartadria yang basah kuyup, nenek melanjutkan ucapannya.
“Tetapi, aku tidak dapat memberikan engkau apa-apa. Karena memang aku tidak mempunyai apa-apa. Aku orang miskin. Kalau engkau mau, aku hanya akan memberikan sebuah nasihat untuk masa depanmu” .
“Tidak usahlah nek, nenek tidak usah repot-repot. Menolong orang adalah sudah menjadi kewajiban semua orang. Apalagi menolong orang tua seperti nenek. Akan tetapi, aku sangat berterima kasih karena nenek mau memberi nasihat untuk masa depanku, “ demikian kata Raden Kartadria.
Setelah diam sejenak, nenek melanjutkan ucapannya. “Cucuku, nasihatku tidak panjang. Setelah melihat raut wajahmu aku dapat meramalkan bahwa engkau kelak akan menjadi seorang yang terkenal di kalangan bangsamu. Engkau akan menjadi pemimpin mereka. Akan tetapi, nasibmu akan tragis. Sekarang tinggal pilih, engkau memimpin bangsamu bebas dari penderitaan, tetapi engkau bernasib tragis atau membiarkan bangsamu menderita dan engkau menjadi orang yang bermatabat rendah, bahkan dicaci maki dan dituduh oleh bangsamu sebagai penghianat bangsa.”
Mendengar nasihat itu, Raden Kartadria termenung sejenak. Tidak lama kemudian, dengan sopan dan penuh hormat Raden Kartadria mengucapkan terima kasih dan minta pamit untuk pulang ke rumahnya. Nenek mengantarkan sampai di depan pintu. Ketika itu hujan sudah mulai reda. Raden Kartadria meninggalkan gubuk nenek itu. Sambil melangkah pulang, ia memikirkan nasihat nenek tadi. Benarkah nasihat itu? Sambil berjalan, hatinya bertanya-tanya. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia ingin menengok nenek yang tadi mengantar sampai di depan pintu. Alangkah terkejutnya Raden Kartdria ketika itu. Gubuk nenek di tepi hutan itu tiba-tiba lenyap entah kemana. Akhirnya, sambil tetap bertanya-tanya dalam hati, ia cepat-cepat pulang.
Setelah beristirahat, Raden Kartadria menceritakan semua yang dialami tadi kepada orang tuanya. Orang tuanya mengatakan bahwa itu petunjuk dari Tuhan. Oleh karena itu, ia harus berhati-hati dalam hidup ini dan tetap berbuat baik serta selalu berusaha menolong orang dalam keadaan bagaimanapun.
Beberapa tahun kemudian, Raden Kartadria merasa dirinya sudah dewasa. Ia ingin merantau mencari pengalaman yang berguna. Suatu hari ia menyampaikan keinginannya itu kepada kedua orang tuanya. Meskipun dengan hati sedih dan berat, kedua orang tuanya melepas putranya pergi merantau.
Raden Kartadria merantau ke daerah Betawi. Ketika itu daerah betawi diduduki oleh kompeni Belanda. Orang-orang Belanda banyak yang menjadi tuan tanah dan menindas rakyat sehingga rakyat banyak yang tidak senang tetapi takut melawan.
Setelah tiba di Betawi, Raden Kartadria mencari rumah pondokan. Ia diterima di rumah seorang ibu tua yang tinggal sendiri. Ibu tua itu bernama Bu Acih. Bu Acih tidak mempunyai anak dan suaminya sudah meninggal ibu tua itu berjualan di pinggir jalan depan rumahnya yang sering dilewati para serdadu Belanda. Karena bu Acih tidak mempunyai anak, kedatangan Raden Kartadria diterima dengan senang hati.
Setiap hari Raden Kartadria rajin membantu bu Acih berjualan di warung. Langganan Bu Acih kebanyakan para serdadu Belanda. Di samping membantu di warung, Raden Kartadria juga rajin mengikuti kegiatan di kampung itu, seperti kerja bakti, membersihkan kampung, serta mengajar membaca Al-Qur’an kepada anak-anak dan remaja kampung itu. Tidak heran kalau warga kampung pun menyukainya, bahkan Bu Acih sendiri sudah menganggap seperti anaknya sendiri.
Suatu hari Raden Kartadria membantu Bu Acih di warung seperti biasanya. Ketika itu datanglah rombongan serdadu Belanda. Mereka memesan gado-gado dan minuman. Setelah beberapa saat, seorang serdadu merasa tidak sabar. Dengan kasar ia menghardik Bu Acih.
“Hai, monyet pribumi! Cepat sedikit dong, nanti saya tempeleng kepalamu baru tahu.”
Mendengar kata-kata itu, Raden Kartadria meminta kepada serdadu itu untuk bersabar dan tidak meneruskan kata-katanya, tetapi serdadu itu marah kepada Raden Kartadria dan berkata dengan kasar.
“Hai, monyet hitam! Kamu jangan ikut campur. Biar saja ibu tua yang jelek itu bekerja sendiri. Engkau tahu apa, hitam? Ha…ha…ha..”
Alangkah sakit hati Raden Kartadria, tetapi ditahannya saja demi keselamatan Bu Acih. Beberapa serdadu lainnya ikut-ikutan mengejek dan tertawa-tawa. Raden Kartadria tetap diam saja. Setelah para serdadu itu selesai makan dan mereka pergi meninggalkan warung, secara diam-diam Raden Kartadria mengikuti dari belakang. Sesampainya di persimpangan jalan yang sepi, para serdadu itu ditantang Raden Kartadria.
“Hai, sinyo putih! Kamu jangan terlalu kurang ajar, ya!” sambil berkata begitu, Raden Kartadria memukul seorang serdadu yang tadi menghina Bu Acih dan dirinya. Serdadu yang dipukul itu tidak tinggal diam, maka terjadilah perkelahian yang seru. Ketika serdadu itu hampir kalah, teman-teman serdadu itu membantunya. Akhirnya, Raden Kartadria pergi meninggalkan tempat itu. Sejak itulah Raden Kartadria sakit hati kepada serdadu Belanda itu.
Beberapa waktu kemudian, ketika Raden Kartadria berada di pasar, ia melihat seorang serdadu sedang memukuli seorang lelaki tua sampai terguling-guling ke tanah. Orang tua itu lalu dibantu oleh Raden Kartadria sehingga serdadu itu pun sakit hati terhadap Raden Kartadria.
Suatu hari datanglah seorang kulit putih ke warung Bu Acih. Dengan sopan, ramah, dan lembut tutur bahasanya, ia mengucapkan”Assalamua’alaikum”. Ia lalu memperkenalkan dirinya. Ia bernama Pieter Erberveld, keturunan Indo-Jerman dan beragama islam. Orang kulit putih itu lalu memesan minuman dan makanan.
Sejak awal kedatangan Pieter Erberveld, Raden Kartadria memperhatikan dengan cermat. Akhirnya, Raden Kartadria tertarik untuk berkenalan. Selesai makan, mereka bercakap-cakap. Dari percakapan itu mereka menjadi akrab. Tiba-tiba muncul seorang serdadu Belanda yang dulu pernah memukuli lelaki tua di pasar. Begitu melihat Raden Kartadria, ia mau marah. Pieter Erberveld bangkit membantu Raden Kartadria. Serdadu itu lari ketakutan. Sejak itu Raden Kartadria akrab dan bersahabat dengan Pieter Eerberveld.
Setelah lama bersahabat, Raden Kartadria menyadari bahwa Pieter Erberveld juga membenci Belanda. Sejak itu persahabatan mereka menjadi lebih akrab. Bahkan, Raden Kartadria menjadi tangan kanannya.
Suatu hari Pieter Erberveld merencanakan persiapan untuk menentang dan melawan Belanda. Tugas Raden Kartadria menghubungkan Pieter Erberveld dengan orang-orang anti Belanda di daerah-daerah di luar Jakarta. Mereka diminta mempersiapkan tenaga dan persenjataan yang ada, seperti keris, tombak, dan keperluan pemberontakan lainnya. Tugas tersebut dilaksanakan Rraden Kartadria dengan senang hati dan penuh tanggung jawab, mengingat nasib bangsanya yang ditindas oleh Belanda.
Untuk menghilangkan jejak dari kejaran serdadu Belanda, Raden Kartadria pindah ke rumah seorang pribumi yang bekerja sebagai serdadu Belanda tetapi membantu sepenuhnya perjuangan Raden Kartadria. Orang pribumi itu bernama Kapten Sutawangsa. Dalam usahanya mengumpulkan persenjataan, Raden Kartadria dibantu oleh seorang ahli pembuat keris dan tombak dari Jamalangu yang sudah 2 tahun tinggal di Betawi. Ia bernama Singaita. Raden Kartadria juga dibantu oleh Ki Bagus Kerta yang berasal dari Jawa. Atas perintah Pieter Erberveld, Raden Kartadria juga mengadakan hubungan dengan sultan Banten untuk meminta bantuan.
Suatu hari Raden Kartadria datang ke rumah Pieter Erberveld untuk merundingkan persiapan pemberontakan, tetapi sayang, rencana mereka diketahui oleh seorang pengkhianat yang mengintip dari balik dinding. Orang itu bernama Mali. Kemudian Mali melaporkan hal ini kepada serdadu Belanda.
Suatu malam Raden Kartadria bermimpi bertemu dengan nenek tua yang pernah menasehatinya dulu ketika masih tinggal di Kartasura. Ia juga ingat pesan kedua orang tuanya untuk tetap berbuat baik kepada siapa saja. Meskipun harus menghadapi cobaan berat, hatinya tetap teguh untuk berjuang bersama Pieter Erberveld.
Hari yang telah ditetapkan tiba. Mereka berkumpul di rumah Pieter Erberveld untuk mengatur strategi perlawanan dan pemberontakan terhadap Belanda. Akan tetapi, tiba-tiba rumah Pieter Erberveld sudah dikepung oleh pasukan kompeni Belanda dari segala arah. Akhirnya, mereka semua ditangkap dan dihukum mati secara keji dan kejam. Raden Kartadria dan Pieter Erberveld diseret dengan kuda ke sana ke mari sehingga kulitnya pecah-pecah. Dari peristiwa itu, lahirlah sebuah nama yang termasyhur sampai sekarang, yaitu Kampung Pecah Kulit yang terletak di jalan Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar dengan Kata-kata yang baik dan benar, jangan menggunakan kata-kata kasar maupun melecehkan lain pihak.
Hormat Kami,
Admin